Introduction
Lokasi Pusat
pemerintahan negara republik Indonesia kembali mencuat ke permukaan saat
presiden Joko Widodo melontarkan wacana tersebut ke publik di akhir bulan April
2018 lalu. Ide yang pertama kali muncul sejak April 2017 tersebut menjadi topik
yang hangat saat Jakarta kembali di landa Banjir. Wacana pemindahan pust
pemerintahan Indonesia, telah didiskusikan sejak keperesidenan Republik
Indonesia pertama Ir. Soekarno di tahun 1958 hingga isu tersebut menjadi
perdebatan berlanjut pada 2010 yang didukung oleh presiden ke 6 Susilo Bambang
Yudhoyono agar ibukota baru dipisah dari pusat ekonomi dan komersial dengan
pusat politik dan administrasi Indonesia. Saat ini Jakarta dinilai sudah tidak
layak untuk menjadi pusat pemerintahan karena menjadi sangat overpopulasi dan
juga memiliki sejumlah masalah lingkungan seperti Banjir dan juga tingkat
polusi udara yang sangat tinggi.
Ada berbagai
pertimbangan untuk pemilihan ibukota negara, mulai dari letak dan lokasi yang
strategis untuk pemerintahan, keadaan geologis, aman dari bencana alam, hingga
syarat fisik dan ketersediaan lahan yang baik agar dapat menampung jalannya
pusat pemerintahan. Syarat fisik dari sebuah kota menjadi sangat penting agar
kota tersebut dapat berkembang menjadi ruang kota yang memiliki sistem
pergerakan yang baik sehingga semua elemen kota dapat saling menunjang
keberlangsungan kota tersebut. Cristopher Alexander dengan teori nya “a city is not a tree “, menjelaskan bahwa sebuah kota yang baik
adalah kota yang memiliki bentuk struktur yang semilattice yaitu bentuk struktur ruang kota yang alami dan
interkoneksi antara hubungan bentuk ruang yang tidak membatasi ruang gerak
penggunanya (Alexander
1964). Idealnya, geometri sebuah kota adalah bentuk yang terhindar dari
ruang-ruang yang terputus dan memiliki zona eksklusif yang memisahkan
ruang-ruang di dalam kota tersebut. Dalam mempelajari geometri dan tata ruang
kota tersebut diperlukan metoda yang cepat dan tepat untuk dapat membuat
perbandingan antara kota-kota di Indonesia yang Ideal sebagai pusat pemerintah
baru Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Contents (belajar
dari ibukota negara lain)
Pertanyaan
paling mendasar pada pemindahan pusat pemerintahan Indonesia adalah dimanakah
ibu kota baru Indonesia tersebut seharusnya berada?
DKI Jakarta
saat ini sudah menjadi sebuah Megapolis dan merupakan salah satu kota terbesar
di dunia. Meleburnya kota-kota satelit seperti Tangerang, Bekasi dan meluasnya
batas kota Jakarta semakin memperumit efektifitas tata ruang kota Jakarta
tersebut. DKI Jakarta dinilai sudah tidak layak lagi untuk menjadi kota pusat
pemerintahan dimana 50% dari wilayah Jakarta masuk dalam kategori rawan
terhadap banjit.. Ada banyak sekali pusat pemerintahan negara yang terpisah
dengan pusat bisnis, seperti yang di contohkan di Amerikas Serikat terdapat
Washington DC sebagai pusat pemerintahan dan New York sebagai kota pusat bisni
ataupun seperti yang dicontohkan negara tetangga Malaysia dimana Kuala Lumpur
sebagai pusat bisnis dan Putrajaya yang terpisah sebagai pusat pemerintahan
yang di yang resmi beroperasi pada tahun 1999.
Kurangnya
informasi dan akses untuk melakukan study komparasi mengenai geometri, street pattern, angularity mengenai ibukota negara baik di negara maju maupun
negara berkembang menjadi permasalahan untuk membuat perbandingan dari ibukota
negara yang ideal. Tantangan dalam melakukan riset komparasi tata ruang kota
adalah metoda mengumpulkan data dengan cara tradisional dan terbatasnya sampel
dan sumber data hingga membutuhkan waktu yang lama dalam mengkoleksi data
tersebut. Dengan terbukanya big data
yang dapat di akses secara online
memudahkan peneliti untuk melakukan analisa data dengan lebih cepat dan tepat,
metoda komparasi gemoetri dan tata ruang kota menjadi lebih mudah. Salah satu
sumber data yang dapat diakses adalah dengan memanfaatkan Open Street Map / OSM, yaitu sebuah projek pemetaan yang dapat
diakses oleh publik secara gratis dan menjadi sumber berharga dari data spasial
kota-kota di dunia (Zielstra,
Hochmair, and Neis 2013). OSM tersebut memiliki akurasi data yang
sangat baik dan terus dalam proses perbaikan untuk menyediakan data open source yang berkualitas dan dapat
dipertanggung jawabkan (Haklay 2010;
Barron, Neis, and Zipf 2014; Girres and Touya 2010). Pada tahun 2018 Geoffrey Boeing
mengembangkan sebuah perangkat lunak berbasis Python yang diberi nama OSMnx,
yaitu sebuah program untuk memudahkan riset mengenai geometri dan mempelajari
tata ruang seluruh kota di dunia (Boeing 2017b,
2017c, 2017a). Metoda mengumpulkan data dengan memanfaatkan openstreetmap memudahkan peneliti ruang
kota untuk dapat memperoleh semua atribut kota dari geometri kota, tata ruang,
lebar jalan, panjang jalan, persimpang dan berbagai atribut informasi yang
tersimpan pada data tersebut.
Pada kasus
perbandingan ibukota negara, saya melakukan penelitian gemoetri dari 6 buah
ibukota negara yang representatif yaitu Washington DC Amerika Serikat,
Putrajaya Malaysia, Ottawa Kanada, Brasilia Brazil, Canberra Australia dan
Paris Perancis. Dalam mempelajari geometri dan tata ruang masing masing bentuk
ibukota negara tersebut, dapat kita pelajari bahwa kota Washington DC dan
Ottawa memiliki bentuk geometri yang lebih teratur dan pola jalan grid,
sedangkan kota Brasilia, Canberra dan Paris memiliki bentuk yang lebih alami
dan pola jalan sirkular.
Ada beberapa kandidat calon ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang muncul sebagai pertimbangan, dimana sebagian sudah ditinjau langsung
oleh presiden Joko Widodo. Kota tersebut antara lain Palangkaraya Kalimantan
Tengah, Mamuju Sulawesi Barat, Makassar Sulawesi Selatan, Palembang Sumatera
Selatan, Maja Banten dan Banyuwangi Jawa Timur. Masih banyak sekali calon
kandidat ibukota negara baru dengan berbagai pertimbangan dari letak yang
strategis, berada di tengah-tengah Indonesia hingga letak ibukota negara baru
yang tidak terlalu jauh dari DKI Jakarta untuk memudahkan proses transisi dan
menghindari permasalahan jangkauan terhadap ibukota negara saat ini. Dengan
menggunakan metoda komparasi pada OSMnx dapat kita lihat bahwa beberapa kota
yang menjadi kandidat tersebut memiliki variasi yang sangat beragam seperti
kota tua Palembang yang memiliki geomteri dan tata ruang dengan kompleksitas
yang tinggi dan pola sirkular dan juga kota kota dengan pola tata ruang grid
seperti Makassar, Maja dan Banyuwangi yang memiliki potensi pengembangan dengan
orientasi yang lebih teratur.
Conclusion
and recommendations
Dalam
memilih ibukota negara yang tepat, tentunya menjadi keputusan yang bijak
apabila kita belajar dari negara lain, seperti adanya polemik dalam
pengembangan Putrajaya dan Brasilia, dimana pengembangan ibukota negara
tersebut justru memiliki permasalah dalam pengembangan ruang kota hingga
memunculkan persoalan urban sprawl.
Kasus Putrajaya dan Brasilia menjadi sangat menarik dan perlu dikritisi lebih
mendalam agar Indonesia tidak terjebak di dalam masalah pengembangan ibukota
negara yang sama. Belajar dari kota-kota di Amerika Serikat yang memiliki
sejarah perkembangan kota yang sangat panjang menjadi menarik dengan
memperhatikan pola perkembangan Mercantile
city, hingga tata letak grid Jeffersonian
yang banyak diterapkan pada perkembangan kota modern di Amerika Serikat dapat
menjadi pembelajaran yang baik
Meskipun
pemerintah belum secara resmi menentukan kandidat calon ibukota negara yang
baru, namun sebagai peneliti sudah menjadi kewajiban kita untuk memberikan
masukan yang ideal dan juga kriteria-kriteria yang dapat menjadi pertimbangan
pemerintah agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
Referensi
Alexander,
Christopher. 1964. “A City Is Not a Tree.” 1965.
Barron, Christopher, Pascal Neis, and Alexander Zipf. 2014. “A
Comprehensive Framework for Intrinsic OpenStreetMap Quality Analysis.” Transactions
in GIS 18 (6): 877–895.
Boeing, Geoff. 2017a. “Methods and Measures for Analyzing Complex
Street Networks and Urban Form.” ArXiv Preprint ArXiv:1708.00845.
———. 2017b. “OSMnx: New Methods for Acquiring, Constructing,
Analyzing, and Visualizing Complex Street Networks.” Computers, Environment
and Urban Systems 65: 126–139.
———. 2017c. “Understanding Cities through Networks and Flows.”
Girres, Jean-François, and Guillaume Touya. 2010. “Quality
Assessment of the French OpenStreetMap Dataset.” Transactions in GIS 14
(4): 435–459.
Haklay, Mordechai. 2010. “How Good Is Volunteered Geographical
Information? A Comparative Study of OpenStreetMap and Ordnance Survey Datasets.”
Environment and Planning B: Planning and Design 37 (4): 682–703.
Zielstra, Dennis, Hartwig H. Hochmair, and Pascal Neis. 2013. “Assessing
the Effect of Data Imports on the Completeness of OpenStreetMap–AU Nited S
Tates Case Study.” Transactions in GIS 17 (3): 315–334.
0 comments:
Posting Komentar